Dengan
gembira nenek membimbing Yi Gak turun dari lantai 2, dan memberitahu Tae
Moo yang baru saja datang kalau Tae Young-nya telah kembali.
Tae Moo
memandang Yi Gak dan tangannya terkepal namun gementar, teringat
bagaimana tangan itu pernah memukul sepupunya hingga jatuh ke laut.
Nenek tak memperhatikan raut muka Tae Moo yang berubah karena dirinya sibuk dengan cucunya yang menepuk-nepuk pundaknya seolah-olah ia bukan neneknya dan mengatakan, “Dengarkan aku, orang tua. Kau salah orang.”
Nenek mengabaikan keanehan ucapan
cucunya dan meminta Tae Young untuk melihat wajahnya sekali lagi,
“Ceritakan apa yang telah terjadi padamu. Kau telah kembali ke rumahmu
sendiri, tapi mengapa sekarang kau malah bersikap seperti ini?”
Nenek memegang kedua pipi Tae Young, namun segera ditepis olehnya.
“Tak tahu sopan santun! Kenapa kau memperlakukanku seperti ini di saat aku baru bertemu denganmu. Bagaimana mungkin kau adalah nenekku?” tanya Yi Gak mulai kasar.
Nenek putus
asa mendengar kalau Tae Young tak dapat mengingatnya. Ia memukuli dada
cucunya, memintanya untuk kembali ke akal sehatnya.
Tapi Yi Gak malah mendorong nenek dan menyuruhnya untuk minggir. Nenek terjatuh karena dorongan Yi Gak, membuat Tae Moo langsung mencengkeram baju Yi Gak dan bertanya, “Siapa kau sebenarnya?”
Tapi Yi Gak malah mendorong nenek dan menyuruhnya untuk minggir. Nenek terjatuh karena dorongan Yi Gak, membuat Tae Moo langsung mencengkeram baju Yi Gak dan bertanya, “Siapa kau sebenarnya?”
Di luar Se Na
yang datang dengan Tae Moo bertemu dengan Park Ha yang baru saja datang
membawa kardus. Ia bertanya apa yang sedang Park Ha lakukan di sini?
Park Ha
menjawab kalau ia datang karena Ibu meminta bantuannya untuk membantu Se
Na memindahkan barang. Se Na serta merta menolak jika Park Ha yang akan
membantunya. Tapi Park Ha bersikeras melakukannnya karena ia melakukan
ini bukan untuk Se Na melainkan untuk ibu.
Satu sama lain
tak ada yang ingin mengalah. Perdebatan mereka tetap akan berlanjut
jika tak ada kibasan angin yang mengagetkan mereka. Ternyata kibasan
angin itu dari Young Sul yang berlari secepat kilat karena telinganya
yang tajam mendengar teriakan Pangeran Yi Gak memanggilnya.
Melihat
tuannya dalam posisi terancam, ia langsung memburu Tae Moo dan
melemparkannya ke dinding dan mengenai lemari kaca. Park Ha dan Se Na
yang menyusul masuk, berteriak kaget melihat Tae Moo terjatuh dengan
pecahan kaca lemari di mana-mana.
Park Ha tercengang melihat akibat kerusuhan yang Young Sul hasilkan. Namun berbeda dengan para pengikut Yi Gak, mereka langsung mengamankan pangerannya, dan membawanya pergi. Dengan lunglai, Tae Moo melambaikan tangannya pada Park Ha, memintanya juga ikut pergi.
Park Ha tercengang melihat akibat kerusuhan yang Young Sul hasilkan. Namun berbeda dengan para pengikut Yi Gak, mereka langsung mengamankan pangerannya, dan membawanya pergi. Dengan lunglai, Tae Moo melambaikan tangannya pada Park Ha, memintanya juga ikut pergi.
Kaca pecah
berhamburan, seorang nenek pingsan dan orang yang dekat dengan kakaknya
didorong jatuh. Park Ha sangat marah, bukan pada Young Sul, tapi pada Yi
Gak yang merupakan sumber kekacauan. Saat
lampu merah, ia meluapkan kemarahannya pada pangeran yang malang,
disaksikan oleh ketiga pengikut setia yang khawatir pangerannya akan
ditelan oleh Park Ha.
“Bukannya
bekerja, kau malah berkelahi? Bagaimana kalau mereka meminta ganti rugi?
Jika kau selalu berkata kasar, berkelahipun tak akan ada gunanya,”
bentak Park Ha.
Yi Gak
menyuruh Park Ha untuk diam. Tapi Park Ha tak mau diam. Ia terus
mengomeli Yi Gak yang tak suka diomeli apalagi di depan para abdi
istananya. Akhirnya Yi Gak berkata keras mengancamnya, “Apa aku harus
menyobek mulutmu agar kau bisa diam?!”
Bukannya takut, Park Ha malah mencondongkan badannya dan menantang Yi Gak, “Sobek! Sobek saja mulutku!”
Malah Yi Gak yang panik mendapat serangan Park Ha. Park Ha pun mengancam balik, “Dengarkan baik-baik! Aku hanya akan mengulangi satu kali saja. Jika lain kali kau tetap tak sopan dan berkata dengan merendahkan orang lain, saat itu aku tak akan melepaskanmu.”
Malah Yi Gak yang panik mendapat serangan Park Ha. Park Ha pun mengancam balik, “Dengarkan baik-baik! Aku hanya akan mengulangi satu kali saja. Jika lain kali kau tetap tak sopan dan berkata dengan merendahkan orang lain, saat itu aku tak akan melepaskanmu.”
Yi Gak terpana mendengar ancaman Park Ha. Ketiga abdinya hanya dapat bergumam kasihan pada Pangeran yang mereka junjung tinggi.
Namun di kala seperti itu, Yi Gak tetap tak mau kehilangan muka. Ia menunjuk lampu lalu lintas dan berkata, “Lampunya sudah hijau. Ayo, jalan!”
Pada kejadian tadi, bukannya nenek marah pada orang yang mirip Tae Young, tapi malah menyalahkan Tae Moo. Kenapa Tae Moo memukul Tae Young, padahal Tae Young sudah menemukan rumahnya? Ia menduga kalau sesuatu telah terjadi saat ia hilang dua tahun yang lalu sehingga Tae Young tak dapat mengingat apapun. Dan sekarang Tae Moo malah mengusirnya keluar.
Sia-sia
sajaTae Moo menjelaskan kalau pria tadi bukanlah Tae Young. Nenek yang
merasa benar-benar yakin menyuruhnya untuk mencari Tae Young sekarang.
Namun ia merubah perintahnya saat teringat kalau Tae Young datang ketika
ada perusahaan pemindahan barang. Ia menyuruh Tae Moo untuk memanggil
Se Na yang ditugaskan untuk memindahkan barang.
Kepada Se Na,
nenek menyuruhnya untuk mencari pria berbaju merah yang pertama datang
ke rumah untuk memindahkan barang. Walaupun Se Na ragu, namun ia
akhirnya menyanggupi perintah nenek.
Di tempat penampungan baju bekas layak pakai, Park Ha mulai memilih baju yang akan dipakai oleh pengelana dari Joseon.
Yang pertama
adalah Young Sul. Park Ha memilihkan baju yang menurutnya cocok untuk
Young Sul. Young Sul menerimanya dengan enggan karena Yi Gak mencemooh
apa yang sedang mereka lakukan. Tapi menurut Park Ha, dengan baju mereka
yang seragam dan warna-warni, orang-orang akan menganggap mereka aneh.
Selanjutnya
Man Bo yang menolak baju ganti, membuat Yi Gak tersenyum senang. Tapi
senyumnya jadi cemberut saat Park Ha memberinya baju yang menurutnya
sangat cocok dengan ketampanan Man Bo. Man Bo merasa tersanjung akan
pujian Park Ha dan menerima baju itu.
Berikutnya Chi
San. Tanpa dibujuk pun, Chi San sudah memilih baju berwarna kuning yang
blink-blink. Park Ha sedikit ragu dengan pilihan Chi San, tapi ia
membiarkannya.
Untuk Yi Gak?
Well, karena semua sudah memakai baju yang berbeda, “Tidak masalah jika
hanya kau yang memakai baju olah raga,” kata Park Ha cuek dan melenggang
pergi.
Chi San berkomentar kalau ia sepertinya lebih suka dengan kehidupan di jaman ini daripada di jaman Joseon.
Selanjutnya adalah memilih sepatu. Park Ha memilihkan sepatu untuk Man BoKali ini Yi Gak melirik-lirik pada tumpukan sepatu sementara Man Bo dan Young Sul mulai mencari-cari sepatu.
Tiba-tiba di musim semi ada salju berterbangan dan ada suara teriakan memanggil, “Yang Mulia..Yang Mulia..!”
Ternyata salju
itu adalah dakron jaket Chi San yang sudah sobek. Chi San tak peduli
kalau jaketnya mengeluarkan isi (atau jangan-jangan ia berpikir kalau
model bajunya seperti itu? Kan seleranya dia agak berbeda), karena ia
terburu-buru lari membawakan sepatu boots yang cocok dikenakan oleh
seorang raja.
Dan benar
saja, mereka semua sangat kagum dengan pilihan Chi San yang kali ini
sangat cocok untuk Yi Gak. Bahkan Young Sul dan Chi San bertepuk tangan
memujinya.
Tae Moo
teringat pada Park Ha, gadis yang selalu muncul ketika Tae Young masih
hidup, dan sekarang saat pria yang mirip dengan Yi Gak muncul. Ia
menyuruh salah satu bawahannya untuk menyelidiki Park Ha secara
diam-diam.
Park Ha membawa Yi Gak dan pengikutnya ke sebuah gedung dan menyuruh mereka berganti baju di kamar kecil (toilet).
Kali ini Yi Gak menurut tanpa banyak syarat dan mereka berjalan masuk ke gedung. Namun tulisan kamar kecil tak terbaca oleh mereka (atau mungkin tulisan hangul-nya berbeda yang berarti mereka buta huruf hangul modern). Mereka malah menemukan ruangan yang dapat membuka sendiri, membuat Young Sul meloncat waspada. Tapi Man Bo, si pemikir, menenangkan mereka karena seperti mobil yang bisa bergerak sendiri maka pintu pun bisa membuka sendiri.
Kali ini Yi Gak menurut tanpa banyak syarat dan mereka berjalan masuk ke gedung. Namun tulisan kamar kecil tak terbaca oleh mereka (atau mungkin tulisan hangul-nya berbeda yang berarti mereka buta huruf hangul modern). Mereka malah menemukan ruangan yang dapat membuka sendiri, membuat Young Sul meloncat waspada. Tapi Man Bo, si pemikir, menenangkan mereka karena seperti mobil yang bisa bergerak sendiri maka pintu pun bisa membuka sendiri.
Chi San memeriksa ruangan yang keempat sisinya memiliki dinding dan memutuskan kalau mereka dapat mengganti baju mereka di sana.
.. saat pintu
lift terbuka di depan sebuah gym dengan para wanita yang sedang asyik
beraerobik. Mereka langsung heboh ber-uh.. ah.. melihat keempat pria
yang bertelanjang dada namun berwajah pucat pasi.
Pintu lift
tertutup dan mereka langsung buru-buru memakai baju bekas
secepat-cepatnya sambil berteriak bagaimana mungkin pintunya bisa
terbuka sendiri?
LOL.
Belum komplit mereka memakai baju, pintu lift kembali terbuka dan mereka pun langsung membeku kembali.
Hehehe.. sepertinya mereka kompakan berpikir kalau mereka berdiam seperti patung, tak akan ada yang menganggap mereka sebagai orang beneran.
Belum komplit mereka memakai baju, pintu lift kembali terbuka dan mereka pun langsung membeku kembali.
Hehehe.. sepertinya mereka kompakan berpikir kalau mereka berdiam seperti patung, tak akan ada yang menganggap mereka sebagai orang beneran.
Kali ini sekumpulan gadis SMA yang langsung berteriak dengan berbagai respon. Ada yang mengatakan “.. daebak..!” ada pula yang berteriak “Dasar mesum!” dan ada pula yang langsung mengambil gambar mereka dengan handpone.
Park Ha yang
sudah tak sabar menunggu kemunculan Yi Gak Cs akhirnya masuk ke gedung
dan mencari-cari mereka, tapi tak ketemu. Akhirnya ia mendatangi satpam
yang sedang mengawasi layar CCTV dan bertanya apakah pak satpam meliat
ada empat pria aneh.
Tanpa banyak
kata, satpam itu menunjuk pada monitor TV yang sedari tadi asyik ia
tonton. Di monitor itu terlihat keempat pria yang Park Ha cari sedang
belingsatan memakai baju. Hehehe..lumayan ya, pak, ada tontonan gratis.
Yi Gak dan
yang lain, segera menyelesaikan memakai baju, dan bertepatan dengan itu
pintu lift terbuka membuat mereka semua kaget. Tapi kekagetan itu
berubah menjadi lega ketika mereka melihat hanya Park Ha yang berdiri
didepan pintu lift, mencemooh mereka. Kelegaan itu berubah menjadi
kekesalan karena merasa dipermalukan dan Yi Gak langsung berteriak,
LOL, bukannya kebalik, ya? Bukannya Park Ha yang mencari mereka karena kelamaan?
“Kenapa kau lama sekali datangnya?!” |
Sama-sama
kesal mereka sama-sama mengangkat dagunya tinggi-tinggi tak ada yang mau
mengalah. Begitu pula dengan pengikut Yi Gak yang juga merasa
dipermalukan.
Tapi tetap saja Yi Gak cs yang harus mengalah karena bagaimanapun juga mereka hanya menumpang
hidup pada Park Ha. Jadi saat truk Park Ha melewati istana
Changdeokgung dan Yi Gak menyuruh Park Ha untuk berhenti. Park Ha tentu
saja tak mau karena dia sekarang sedang sibuk.
Maka Pangeran
pun mogok bekerja (walaupun selama ini ia juga tak mau bekerja).
Sementara yang lain mengepel lantai, Yi Gak tetap berdiri dan tak mau
melakukan apapun. Sampai akhirnya Park Ha menawarkan solusi, Yi Gak
bekerja = pergi ke istana Changdeokgung.
Dan umpan pun
diterima. Yi Gak langsung masuk toko dan meminta tongkat pel pada Chi
San. Sia-sia Chi San menyembunyikan tongkat pel di balik punggungnya
karena Yi Gak sangat keukeuh ingin menyelesaikan pekerjaan.
Para abdi
memohon pangeran untuk berhenti bekerja. Mereka berjanji tak akan
mengeluh lagi dan bekerja ekstra keras untuk menggantikan Yi Gak. Tapi
percuma, Yi Gak tetap mengepel lantai dan mengelap barang-barang toko
dengan bersemangat.
Hanya pertumpahan darahlah yang menghentikan Yi Gak dalam bekerja.
Maksudnya setetes darah.
LOL. Mungkin karena tak pernah bekerja dan kulitnya halus dan mulus, telunjuk Yi Gak tergores saat mengelap rak besi.
Hanya setetes,
tapi paniknya selangit. Man Bo, si jenius, langsung meminta pangeran
agar mengacungkan telunjuknya agar darah (biru)nya tak menetes. Yi Gak
pun mengacungkan telunjuknya tinggi-tinggi.
Park Ha hanya bisa geleng-geleng melihat ‘kepintaran’ mereka dan mengajari mereka untuk menekan luka di jari agar darah berhenti keluar.
Ia akan membeli obat di apotik dan menyuruh Yi Gak untuk berdiri
seperti itu sambil menunggunya kembali. Kepada yang lain, ia menyuruh
mereka untuk membersihakan toko sampai kinclong.
Ia pun pergi ke apotik untuk membeli band aid sekaligus mengenalkan diri sebagai pemilik toko diujung jalan yang sebentar lagi akan buka. Ohh.. ternyata toko yang baru saja digosok itu adalah toko Park Ha.
Ia pun pergi ke apotik untuk membeli band aid sekaligus mengenalkan diri sebagai pemilik toko diujung jalan yang sebentar lagi akan buka. Ohh.. ternyata toko yang baru saja digosok itu adalah toko Park Ha.
Saat keluar apotik, ia tak sengaja melihat Tae Moo yang berdiri di depan apotik sedang asyik dengan handphone-nya.
Yang tak Park
Ha ketahui, sebenarnya Tae Moo telah memperhatikan Park Ha dan yang
lainnya sejak mereka ada di toko dan ia berpura-pura berdiri di sana
agar Park Ha melihatnya.
Park Ha
menyapa Tae Moo dan minta maaf atas kejadian tadi. Dan Tae Moo pun
mengajak Park Ha untuk duduk di restoran. Ia bertanya tentang jati diri
pria berbaju merah, dan setelah yakin kalau pria itu bukan sepupunya, ia
pun memberi ‘jalan keluar’ pada Park Ha.
Walaupun
kerusakan yang timbul sangat besar, Tae Moo tak mempermasalahkan
barang-barang yang dirusak oleh pria berbaju merah. Tapi keluarganya
yang mempermasalahkan, sehingga ia berpesan jika ada orang yang
menanyakan tentang keberadaan pria berbaju merah, Park Ha harus
mengatakan kalau Park Ha tak tahu keberadaan pria itu.
Tae Moo bahkan
memberi voucher VIP dari departemen store milik keluarganya agar dapat
dipergunakan oleh Park Ha. Park Ha yang mulanya menolak, akhirnya
menerimanya.
Se Na
melakukan tugas dari nenek dengan meminta tolong ibunya untuk
menghubungi Park Ha. Tapi ibu tak mau,dan mengeluh kalau handphonenya
rusak dan tak ada yang peduli padahal ia lusa berulang tahun. Ia
menyuruh SeNa untuk menghubungi Park Ha sendiri.
Telepon tak
diangkat, maka Se Na pergi ke toko Park Ha. Ia berpapasan dengan pria
yang ia cari namun ia tak mengenalinya karena yang ia cari adalah pria
berbaju merah bukan pria berjaket biru yang sedang berdiri seperti
patung liberty.
Betapa
kecewanya Se Na karena saat bertemu Park Ha, Park Ha mengaku tak
mengenal pria berbaju merah dan tak tahu keberadaannya sekarang.
Park Ha
menemui Yi Gak dan menempelkan band aid di jarinya sambil menjelaskan
kalau band aid adalah cara terbaik untuk membalut luka sehingga jari tak
akan sakit saat digerakkan. Yi Gak membuktikan ucapan Park Ha,
.. dan mengeluh kesakitan karena jarinya masih terasa sakit.
Tae Moo
menghibur Se Na yang belum menemukan pria berbaju merah dengan
mengajaknya makan di restoran. Ia juga mengajak Se Na untuk berlibur ke
Inggris saat musim panas nanti.
Dan Se Na pun bertanya, “ Untuk apa?”
Tentu saja untuk menjenguk ibu Se Na yang menjadi professor di sebuah universitas di Inggris. Buru-buru Se Na berkilah kalau mereka tak perlu ke Inggris untuk menemuinya, karena ibunya akan pulang ke Korea.
Malam harinya,
Park Ha mengajarkan bahasa Hangul modern kepada para pengelana Joseon.
Dan pelajaran itu berlangsung sampai malam walaupun Young Sul
terkantuk-kantuk saat mengikutinya.
Keesokan harinya, Park Ha menepati janjinya
dengan membawa Yi Gak sendiri tanpa para pengikutnya. Ia menyuruh Yi
Gak untuk melakukan apa yang ia ingin lakukan secepatnya dan ia pun
pergi.
Ditinggal
sendirian, Yi Gak melihat-lihat istana Changdeokgung. Memandang
jembatan, ia merasa déjà vu, teringat kejadian 300 tahun yang lalu yang
masih lekat dalam kenangannya.
Masih teringat olehnya keceriaan Hwa Young saat mereka berjalan-jalan di sana. Senyum manisnya masih terekam dalam pikirannya.
Namun iapun
teringat pada rasa sakit di hatinya. Karena di tempat yang sama, di
kolam yang berada di bawah jembatan adalah tempat jasad Hwa Young
ditemukan.
Park Ha
mendekati Yi Gak yang buru-buru menghapus air matanya. Ia menerima gelas
yang disodorkan Park Ha dan mengernyit merasakan pahitnya air yang ia
minum.
“Kopi,” jawab Park Ha pendek.
“Aku tak mau.
Kopi ini sangat pahit hingga membuatku mengeluarkan air mata,” kata Yi
Gak seolah memberi alasan mengapa menangis.
Ia
mengembalikan kopi itu pada Park Ha. Belum sempat Park Ha menerima,
tiba-tiba Park Ha mendapat telepon dan Park Ha langsung menyeret Yi Gak
pergi.
Benar-benar harus menyeret, karena Yi Gak terbengong-bengong campur khawatir melihat kereta besar yang dapat bergerak.
Di dalam
kereta, Yi Gak mencoba mengacuhkan Park Ha yang mencoba mengajarinya
cara berbicara yang sopan. Tapi Park Ha tak menyerah. Ia mengungkit
tentang tangisan Yi Gak di istana Changdeokgung tadi.
“Aku menangis karena pahitnya kopi yang kau berikan,” Yi Gak mencoba berkelit.
Yi Gak
langsung memegang pundak Park Ha dan memohonnya untuk tak memberitahukan
pada para abdinya. Pemimpin negara tak boleh terlihat galau. Park Ha
bersedia melakukannya asal Yi Gak mau menirukan apa yang ia katakan. Ia
menunjuk pada petugas restorasi kereta yang membawa makanan dan menyuruh
Yi Gak mengatakan apa yang ia katakan,
Dan Yi Gak menirukan dengan suara Park Ha. Lirih, manis, dan seperti wanita, “Dapatkah saya membeli telur rebus dan soda?”
Entah Yi Gak serius belajar dengan nada seperti itu atau ingin membuat Park Ha jengkel, tapi hasilnya sama. Park Ha malah tertawa mendengarnya.
Entah Yi Gak serius belajar dengan nada seperti itu atau ingin membuat Park Ha jengkel, tapi hasilnya sama. Park Ha malah tertawa mendengarnya.
Park Ha ternyata buru-buru pergi karena ada penawaran strawberi murah (setengah harga!) di sebuah kebun strawberi . Hanya saja ada syaratnya, yaitu strawberinya harus dipetik sendiri.
Park Ha hanya
mempunyai dua tangan, jadi ia membutuhkan bantuan tangan yang lain yaitu
tangan Yi Gak. Tapi si empunya tangan tak mau meminjamkan tangannya
walaupun Park Ha sudah mengancamnya akan mengusir Yi Gak dari rumahnya.
Ia malah melenggang pergi. Tinggal Park Ha yang memetik strawberi sambil
menggerutu.
Setelah meninggalkan Park Ha di kebun strawberi, Yi Gak
berjalan-jalan di desa. Di sebuah rumah, ada papan yang menarik
perhatiannya. Papan yang tergantung didinding itu berisi tulisan hangul kuno, jenis tulisan yang sangat ia kenal. Ia membungkuk, ingin memegang papan itu, namun papan itu malah jatuh dam terbelah dua. Yi Gak terbelalak melihat papan itu jatuh sebelum ia sempat menyentuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar